Soegeng Boedhiarto
|
Purwokerto,
tabloidmetrolima.com - Soegeng
Boedhiarto (88), salah seorang anggota Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI) Jawa Tengah
mengimbau generasi muda untuk tidak melupakan sejarah
karena kemajuan bangsa saat ini dicapai berkat jasa para pejuang kemerdekaan.
“Kemajuan pembangunan yang kita nikmati sampai
detik ini merupakan buah dari perjuangan para pejuang yang rela mengorbankan
jiwa dan raganya demi kemerdekaan bangsa,” kata Soegeng kepada Metro Lima News.
Dalam merebut kemerdekaan kata dia, para pejuang bukan hanya
mengorbankan
tenaga, pikiran dan waktu, melainkan juga meneteskan keringat, air mata dan
menumpahkan darah yang tidak bisa dinilai dengan apa pun.
Oleh karena itu katanya, jasa-jasa para pejuang yang telah gugur
tidak boleh dilupakan begitu saja melainkan harus selalu dihormati dan dihargai.
Berjuang untuk negara ujarnya, tidak harus memikul senjata berperang
melawan musuh, melainkan bisa melalui tindakan atau perbuatan yang bermanfaat
bagi kebaikan bangsa.
Ayah delapan anak yang telah memiliki 26 cucu dan
enam buyut ini menuturkan masa lalunya saat masa penjajahan dari bangsa luar.
Pada tahun 1945 silam, Soegeng masih berusia 17 tahun. Kala itu ia sudah
mengetahui Jepang akan pulang ke Tokyo, paska kekalahan dari tentara sekutu.
“Saat itu saya bersama Slamet, asli Solo, serta Radjiman, tukang cukur,
melucuti pasukan Jepang yang berada di Purwokerto,” kenangnya.
Kemerdekaan Indonesia di Purwokerto saat itu
diumumkan di Gedung Soetedja, yang kala itu masih bernama Bioskop Indra.
Dikatakan Soegeng, pada masa itu warga pribumi tidak ada yang boleh melihat
pemutaran film di gedung tersebut. Tetapi, ia dan beberapa teman-temannya nekad
menonton film dengan bersembunyi di dekat ruang operator.
“Pemberitahuan kemerdekaan bagi warga Purwokerto
ya diumumkan dengan layar lebar di Bioskop Indra,” kata Soegeng sambil
menitikkan air matanya.
Tanggal 3 Januari 1946 sampai 27 Desember 1950,
Soegeng Boedhiarto tergabung dan menjadi anggota CPMD DET II/III Pos Rahasia
Dalam Kota di bawah pimpinan Kapten Gatot Soewagio. Soegeng bertugas sebagai
penyadap informasi dari pihak musuh dan membawa perbekalan kebutuhan para
Tentara Keamanan Rakyat, seperti alat-alat tulis dan obat-obatan.
Pada tanggal 11 Januari 1947, Pos Dalam Kota
tercium musuh (Belanda). Sebagian anggota ada yang lari sambil bergerilya
sejauh 5 kilometer di daerah Desa Sidabowa, Kecamatan Patikraja untuk
memudahkan dan menerima informasi dan bantuan apa saja yang diperoleh anggota
yang berada di dalam kota. Dan sebagian ada yang menjalankan tugas di dalam
kota.
10 September 1949 Polisi Tentara menjelma menjadi
nama CPMD (Corps Polisi Militer Djawa). Pos Rahasia berdomisili di Kalibagor,
mengawasi Kecamatan Kalibagor, Kecamatan Sokaraja, Kecamatan Purwokerto dan
sekitarnya.
Setahun kemudian, Soegeng dan rekan-rekannya di
tarik masuk ke Kompi Purwokerto yang dipimpin oleh Dan Ki Kapten Gatot
Soewagio. Selama menjalankan tugas, Pos Rahasia menghasilkan 3 (tiga) karabyn,
moser dan peluru. Serta 1 (satu) sten gun + 4 hoder bak penuh peluru. Tiga
mouser didapat dari anggota DP Dinas Polisi Belanda dan 1 sten gun dari
anggota Kenil dari MTD Belanda.
“Sekedar diketahui, CPMD yang wilayah tugasnya
meliputi wilayah Karesidenan Banyumas dan Pekalongan, merupakan cikal bakal
DENPOM. Bisa dikatakan, satu-satunya Denpom yang ada di Indonesia ya berada di
Purwokerto ini,” terang Soegeng Boedhiarto.
Penghargaan yang diterima lelaki kelahiran
Purwokerto,4 Juli 1049 ini atara lain : Pengakuan, Pengesahan dan
Penganugerahan Gelar Kehormatan VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN R.I dari Menteri
Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Laksamana TNI Sudomo, SK
Nomor : Skep/956/VIII/1981 tanggal 15-8-1981. Medali Perjuangan Angkatan 45 dan
Piagam Penghargaan dari Jenderal TNI (Purn) Surono, tanggal 17 Agusutus 1995
dan Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia dari Pimpinan Pusat LVRI Letnan
Jenderal TNI (P) Purbo S. Suwondo tanggal 17 September 2003.
Kritisisi kebijakan yang ngawur
Meski usianya tergolong uzur, namun Soegeng masih terlihat prima. Bahkan,
hampir tiap hari ia menempuh perjalanan dari Purwokerto - Banjarnegara.
Kepekaan dan kepeduliannya terhadap kinerja pemerintahan di Banyumas dan
sekitarnya yang dinilai tidak prosedural dan melanggar aturan, kerap
mendapatkan kritikan darinya. Baginya, mengkritisi kebijakan yang tidak
bijaksana juga merupakan sebuah perjuangan.
Salah satunya revitalisasi Pasar Manis Purwokerto yang tidak memiliki IMB
saat dibangun, tak luput dari sorotan Soegeng yang kebetulan rumahnya hanya
berjarak sekitar 70 meter dari Pasar Manis. “Sangat memalukan pembangunan pasar
manis yang diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2015 kemarin justru tidak
mengantongi IMB cukup lama. Itu menunjukan kinerja pemerintah dan dinas terkait
yang ngawur dan ceroboh,” tandas Soegeng.
Pemerintah daerah, kata Soegeng, harusnya memberikan contoh yang baik
kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya. Persoalan IMB masyarakat disoal,
tetapi pemerintah sendiri justru lalai mengurus perijinan.
Pembangunan Pasar Manis sendiri berdampak dengan dibongkarnya Gedung
Kesenian Soetedja Purwokerto yang sebelumnya berada di sebelah timur Pasar
Manis. Meski hal tersebut merupakan sebuah kebijakan, namun dibongkanya Gedung
Soetedja yang nilai historisnya sangat kental bagi para veteran pejuang
kemerdekaan dan seniman di Purwokerto, menyisakan kegetiran yang mendalam.
“Gedung Soetedja adalah tempat yang digunakan untuk mengumumkan kemerdekaan
negara ini bagi warga Purwokerto. Sekarang bangunan yang mempunyai nilai
sejarah tersebut sudah dibongkar dan di pindah yang saya sendiri tidak begitu
tahu kejelasannya kapan dibangun Gedung Soetedja yang baru,” pungkasnya. (Tris)