Tradisi
Maudu Lompoa Cikoang di Makasar
|
Jakarta, Metrolima.com - Peringatan hari lahir Nabi Muhammad
SAW atau Maulid Nabi Muhammad yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam
penanggalan Hijriyah, dirayakan dengan berbagai cara oleh umat Islam di
Indonesia.
Ragam perayaan itu umumnya berakar dari kebiasaan dan adat istiadat
daerah setempat.
Yang umum adalah dengan menggelar
pengajian di masjid-masjid, menggelar lomba yang berhubungan dengan Islam,
seperti lomba baca Alquran, lomba azan, ceramah agama hingga lomba qasidah.
Namun, sejumlah daerah memiliki perayaan yang unik dan berbeda dibandingkan
daerah lainnya.
Perayaan ini hampir semuanya
memiliki sejarah panjang dan berhubungan erat dengan tradisi yang sudah hidup
berabad-abad lampau. Tak heran kalau saat ini, tradisi tersebut tak lagi
sekadar ritual keagamaan, namun sudah menjadi objek wisata.
Berikut rangkuman 8 tradisi unik
perayaan Maulud di berbagai daerah di Nusantara.
Tradisi Muludhen di Madura
Tradisi
Muludhen di Madura, Jawa Timur
|
Tradisi muludhen digelar oleh warga
di Pulau Madura, Jawa Timur saat merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam
acara itu biasanya diisi dengan pembacaan barzanji (riwayat hidup Nabi) dan
sedikit selingan ceramah keagamaan yang menceritakan kebaikan Sang Nabi semasa
hidupnya untuk dijadikan sebagai tuntunan hidup.
Tepat tanggal 12 Rabiul Awal,
masyarakat akan berduyun-duyun datang ke masjid untuk merayakan Maulid Agung.
Di luar Maulid Agung ini, orang masih merayakannya di rumah masing-masing. Tentu
tidak semua, hanya mereka yang memiliki kemampuan dan kemauan.
Saat Maulid Agung, para perempuan
biasanya datang ke masjid atau musala dengan membawa talam yang di atasnya
berisi tumpeng. Di sekeliling tumpeng tersebut dipenuhi beragam buah yang ditusuk
dengan lidi dan dilekatkan kepada tumpeng. Buah-buah itu misalnya salak, apel,
anggur, rambutan, jeruk, dan lainnya.
Pada saat pembacaan barzanji,
tumpeng-tumpeng tersebut dijajarkan di tengah orang-orang yang melingkar untuk
didoakan. Setelah selesai, tumpeng-tumpeng itu kemudian dibelah-belah dan
dimakan bersama-sama. Para perempuan biasanya tidak ikut membaca barzanji,
mereka hanya menyiapkan makanan untuk kaum laki-laki.
Tradisi Bungo
Lado di Padang Pariaman
Tradisi
Bungo Lado di Pariaman, Sumbar
|
Tradisi Bungo Lado (berarti bunga
cabai) adalah tradisi yang dimiliki warga Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera
Barat. Bungo lado merupakan pohon hias berdaunkan uang yang biasa juga disebut
dengan pohon uang. Uang kertas dari berbagai macam nominal itu ditempel pada
ranting-ranting pohon yang dipercantik dengan kertas hias.
Tradisi bungo lado menjadi
kesempatan bagi warga yang juga perantau untuk menyumbang pembangunan rumah
ibadah di daerah itu. Karenanya, masyarakat dari beberapa desa akan membawa
bungo lado. Pohon uang dari beberapa jorong (dusun) itu kemudian akan
dikumpulkan.
Uang yang terkumpul biasanya
mencapai puluhan juta rupiah dan disumbangkan untuk pembangunan rumah ibadah.
Tradisi maulid ini biasanya digelar secara bergantian di beberapa kecamatan.
Tradisi bungo lado ini terkait erat
dengan profesi petani yang digeluti sebagian besar warga Sumbar. Di antara
hasil tani tersebut adalah tanaman cabai yang bagi masyarakat Minangkabau
disebut dengan lado. Cabai atau lado sebelum berbuah akan berbunga terlebih
dahulu. Semakin banyak bunganya tentu akan semakin banyak pula buahnya.
Dalam hal ini, sumbangan uang
diumpamakan dengan bunga cabai tersebut. Sumbangan bungo lado ini merupakan
simbol dari rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah.
Tradisi Ngalungsur di Garut
Tradisi
Ngalungsur Pusaka di Garut, Jabar
|
Di Kabupaten Garut, Jawa Barat,
terdapat upacara Ngalungsur, yaitu proses upacara ritual di mana barang-barang
pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun
sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak
wangi supaya tidak berkarat yang difokuskan di Kampung Godog, Desa Lebak Agung,
Kecamatan Karangpawitan.
Di tempat lain seperti Banten,
kegiatan difokuskan di Masjid Agung Banten. Demikian pula di tempat-tempat
ziarah makam para wali, tradisi ini juga digelar.
Upacara yang dilakukan oleh juru
kunci ini merupakan bukti bahwa mereka masih melestarikan dan melaksanakan
tradisi leluhurnya serta mensosialisasikan keberadaan benda-benda pusaka
peninggalan Sunan Rohmat Suci.
Pusaka tersebut merupakan simbol
perjuangan dan perilaku Sunan Rohmat Suci semasa hidupnya dalam memperjuangkan
agama Islam. Benda-benda pusaka tersebut dicuci dengan disaksikan oleh peserta
upacara.
Tradisi Kirab Ampyang di Kudus
Tradisi
Kirab Ampyang di Kudus
|
Warga di Loram Kulon, Jati, Kudus,
Jawa Tengah, juga memiliki tradisi tersendiri. Mereka melakukan kirab Ampyang
di depan Masjid Wali. Pada awalnya kegiatan ini merupakan media penyiaran agama
Islam di wilayah tersebut. Tradisi itu dilakukan oleh Ratu Kalinyamat dan
suaminya Sultan Hadirin.
Tradisinya dengan menyajikan makanan
yang dihiasi dengan ampyang atau nasi dan krupuk yang diarak keliling Desa
Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, sebelum menuju ke Masjid Wali At Taqwa di
desa setempat.
Masing-masing peserta, menampilkan
sejumlah kesenian, seperti visualisasi tokoh-tokoh yang berjasa pada saat
berdirinya Desa Loram Kulon serta visualisasi sejarah pendirian Masjid Wali At
Taqwa.
Setelah sampai di Masjid Wali, tandu
yang berisi nasi bungkus serta hasil bumi yang sebelumnya diarak keliling desa
didoakan oleh ulama setempat, kemudian dibagikan kepada warga setempat untuk
mendapatkan berkah.(L6/rin/jat)