Kampung Pulo Jatinegara tempo dulu |
Jakarta, Metrolima.com - Nama Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, sudah tak asing
lagi di telinga masyarakat. Ya, setiap musim hujan kampung ini kerap menjadi
langganan banjir karena letaknya yang berada di bantaran Kali Ciliwung.
Tak banyak yang
tahu cikal bakal Kampung Pulo tersebut. Salah seorang tokoh Kampung Pulo yakni, Habib Soleh
Bin Muksi Alaydrus menjabarkan cikal bakal kampung yang mungkin saja namanya hanya akan menjadi
kenangan.
Habib Soleh
menceritakan, Kampung Pulo memiliki andil dalam sejarah dalam kemerdekaan.
“Bicara mengenai sejarah Kampung Pulo, sangat panjang. Karena kampung ini sudah
ada sekitar abad ke 17 atau tahun 1800-an lah. Sebelum ada Belanda di Indonesia
kampung ini sudah ada lebih dulu. Di sini kampung pejuang yang tidak banyak
orang tahu,” cerita Habib Soleh membuka perbincangan dengan Sindonews di
kediamannya, pada Rabu 19 Agustus 2015 lalu.
Habib Soleh
melanjutkan, dulunya Kampung Pulo dianggap sebagai Nusakambangan-nya
Jatinegara, lantaran memang kampung ini lebih tertutup dibanding kampung
lainnya. Dari pejuang, pendakwah, dan masyarakat umumnya memang tidak terlalu
terekspos apalagi dimasukkan ke dalam sejarah.
Kampung Pulo tahun 1990an |
“Dulu setelah
pejuang kita menghabisi Belanda dengan memotong leher kompeni, kita buang
mayatnya ke Rawa Bangke (sekarang Rawa Bunga). Para pejuang itu langsung
mengamankan diri ke Kampung Pulo dan tidak diketahui oleh tentara Belanda
lainnya,” tambah Habib.
Pada zaman
kolonial, lanjut Habib, Kawasan Kampung Pulo menjadi bagian dari Meester
Cornelis.
Awalnya Kampu ng Pulo adalah hutan. Sebagian wilayahnya dibuka oleh
lima bersaudara (Aril, Rihen, Bandan dan kedua saudaranya yang belum diketahui
namanya) yang diberi wewenang oleh kolonial Belanda berupa dua surat Verponding
untuk menjadi tuan tanah yang menarik pajak pada para pemukim.
Semenjak itu,
Kampung Pulo berubah menjadi pusat perniagaan di Timur Batavia. Bayangkan saja,
di dekatnya terdapat pasar skala regional yakni, Pasar Jatinegara dan juga
Stasiun Kereta Api Jatinegara yang membuat pertumbuhan ekonomi di Batavia saat
itu lebih cepat.
Kampung Pulo tahun 2000an |
Mayoritas
penduduknya adalah suku Betawi, namun sejak 1970-an banak warga pendatang dari
kulon (Banten), Bogor, dan sekitarnya bersamaan dengan usaha pedagang bambu
yang datang dari wilayah hulu yang dijual ke Pasar Senen dan Mester.
Beberapa situs
sejarah yang masih ada hingga kini yaitu Makam Habib Husin bin Muksin Bin Husin
Alaydrus atau biasa disebut Shohibul Makam ada sejak tahun 1830. Makam Kyai
Lukmanul Hakim atau Datuk yang ada sebelum tahun 1930.
Makam Kyai
Kashim sejak 1953 dan Musala Al Awwabin sejak tahun 1927 yang kini telah
direnovasi menjadi masjid. “Dulu warga Kampung Pulo memegang erat tradisi
memakamkan anggota keluarga di lokasi rumah sendiri, jadi sering ditemukan
makam yang berada dalam rumah,” tutup Habib Soleh.
Kini Kampung bersejarah itu tinggal menunggu
waktu untuk dihancurkan dan diubah menjadi proyek normalisasi Sungai Ciliwung
yang diklaim mampu atasi banjir yang selama ini meneror warga Ibu Kota. (NN/KBA/Jat)