logo Piala presiden 2015 |
Jakarta, Metrolima.com - Tahu-tahu final Piala Presiden
lebih ramai soal kemungkinan bertemunya dua kelompok suporter yang timnya
justru tidak akan bertarung di lapangan.
Di dalam stadion nanti, finalis yang
akan bertarung memperebutkan trofi adalah Persib Bandung dan Sriwijaya FC.
Keduanya terbukti tak bisa dihentikan tim-tim lain sejak putaran pertama sampai
semifinal. Pada akhirnya, jargon populer itu berlaku: hanya tim-tim terbaik
yang layak masuk final.
Selayaknya sebuah partai final,
semestinya atmosfer yang terbangun adalah hiruk-pikuk tim mempersiapkan diri,
para manajer berperang urat syaraf dengan cerdas di media massa, atau kesibukan
suporter yang berkemas-kemas untuk berangkat ke tempat final.
Di sisi lain, kota tuan rumah
biasanya bersolek menyambut sebuah perhelatan puncak dengan atau siapapun
pesertanya. Apalagi kabarnya Presiden Joko Widodo ingin menyaksikan
pertandingan final itu dinamai Piala Presiden.
Tapi sejak dua hari terakhir
atmosfer yang terbangun menjelang final ini adalah bayang-bayang yang mencekam.
Bagaimana tidak mencekam jika masyarakat ibukota tahu-tahu disodorkan
"gambaran" akan bertemunya suporter Persija dan Persib -- bukan
Bobotoh dengan Singa Mania (!)-- yang memang sudah lama dikenal berseteru
sengit, di dalam dan di luar stadion, dengan sejarah bentrokan fisik bahkan
nyawa. Kerap kali perseteruan mereka sudah tidak masuk akal, karena sering
terjadi di luar konteks sepakbola itu sendiri, misalnya sweeping
kendaraan berplat nomor kedua kota.
The Jakmania terang-terangan
bersikap: #TolakPersibMainDiJakarta. Keamanan tentu saja akan selalu jadi
alasan. Ketua umumnya, Richard Achmad, berdalih bahwa seruan itu justru untuk
menghindari hal-hal yang tak diinginkan dan merugikan banyak hal.
"Ini bukan ancaman, tapi pasti ada oknum yang memanfaatkan hal ini. Dan
ini bukan masalah tanding di GBK, tapi area-area perbatasan-nya itu yang tidak
bisa kami jamin keamanannya. Makanya kami beri masukan," ucap dia (11/10).
Polisi kemudian turun tangan, paling
tidak, sudah berencana mengantisipasi. Dari Kapolda sampai Kapolri, sama-sama
memberi peringatan supaya setiap suporter tidak macam-macam.
Sayangnya, tidak disebutkan dengan
rinci, sampai di mana polisi akan mengantisipasi kemungkinan pertemuan suporter
Persija dan Persib, sedangkan ibukota sangatlah luas. Usul The Jak supaya fans
Persib menanggalkan atribut birunya di luar stadion pun, menjadi ironis. Tapi
memang benar, ini soal antisipasi, bukan semata-mata "kekhawatiran yang
belum tentu terbukti".
Dua insiden "panas" terakhir sungguh konyol (dan mengerikan). Pada Juni 2013, kali terakhir kali Persib main di Jakarta, pertandingan urung terlaksana karena bus Persib diserang sekelompok orang saat baru meninggalkan hotel menuju Senayan. Rombongan Persib memutuskan putar balik dan masuk tol ke luar Jakarta.
Mendengar kabar itu bobotoh marah.
Menunggu kepulangan bus tim kesayangannya waktu itu, mereka sempat turun ke
jalan-jalan di Bandung. Sempat pula tersiar kabar ada sweeping dan perusakan
pada mobil berplat B, walaupun kemudian kabarnya insiden itu hanya minor,
karena suporter masih bisa mengendalikan diri pada hal-hal di luar dirinya.
Pada November 2014, terjadi insiden lagi lagi. Sepulang dari menonton final ISL 2014 di Palembang, bus rombongan suporter Persib dilempari massa di jalan tol Simatupang. Polisi sampai turun tangan untuk mengatasi kejadian tersebut.
Apa boleh buat, inilah sebuah potret
lain sepakbola di tanah air.
Keputusan final tempat pertandingan
baru akan diambil sore hari ini. Menurut Anda, di mana sebaiknya puncak Piala
Presiden digelar?(dtiksport/a2s/din/jat)