James Franco pemeran film 127 hours diadopsi dari kisah nyata |
Kisah Nyata, Metrolima.com - Apa yang terjadi ketika seorang remaja berpetualang sendirian untuk lari
dari berbagai masalahnya, dan ia terjebak untuk bertahan hidup selama 127 jam?
Perjuangan untuk melanjutkan hidup, dan pengalaman mengerikan yang membuat
sang petualang menemukan arti hidupnya ini terjadi secara nyata pada Aron
Ralston. Film yang penuh inspiratif ini diceritakan kembali oleh sutradara
Danny Boyle dalam film “127 Hours”.
Pemerannya aktor tampan James Franco.
Walau dirilis pada tahun 2010, tapi film yang mendapat enam nominasi
Academy Awards ini benar-benar menginspirasi banyak anak muda.
Tidak hanya
untuk lebih menghargai kehidupan dan keluarga, tapi juga untuk lebih optimis
dan cerdas dalam bertahan hidup walaupun sudah berada di ujung kematian.
Kisah dimulai ketika Aron, remaja yang hobi mendaki dan melakukan hal gila
pergi sendirian ke Blue John Canyon, di Utah. Ia pergi tanpa mengabarkan
siapapun. Laiknya para pendaki yang berpengalaman, ia pergi dengan berbagai persiapan
dan perlengkapan yang sangat lengkap, serta perhitungan matang akan segala
jadwal kegiatan dalam perjalanannya.
Satu hal yang membuat ia lengah, pisau Swiss Army tajam andalanya yang
tidak terbawa, tertukar dengan pisau lipat kecil yang tumpul.
Dengan kelihaiannya, Aron berhasil menyebrangi banyak tebing yang curam.
Bahkan dengan petualangan Aron ini, kita bisa menikmati keindahan Blue John
Canyon, baik dari struktur bebatuan, hingga air terjun di dalamnya. Sayangnya,
selihai-lihainya seorang manusia jika ceroboh pasti akan tergelincir. Itulah
yang terjadi pada Aron ketika secara tidak terduga terperosok ke dalam tebing
yang dalam, dan batu besar dengan berat sekitar 360 Kg menjepit pergelangan
tangan kanannya.
Disinilah masalah tiba. Tidak ada satu orangpun yang berada di lembah itu,
dan ia berada terperosok sangat jauh. Berteriakpun percuma, suaranya tidak
terdengar hingga ke atas. Sialnya, dengan segala cara yang Aaron lakukan batu
itu tetap tidak bergeming. Tetap diam menjepit tangannya.
Dengan pikiran yang sangat dingin, Aron berfikir cerdas untuk bertahan dan
menyelamatkan diri. Mulai dari menjadwal bekal makanan dan minuman, serta
membuat perlindungan diri dari tali dan tenda. Itupun dilakukan dengan satu
tangan. Ia juga menggunakan semua peralatannya untuk membebaskan tangannya.
Sayangnya, segala cara dilakukan tidak juga berhasil. Aron hampir menyerah
dan merasa hidupnya hanya sampai di sini. Ia kemudian teringat kepada mantan
kekasih dan semua keluarganya, terutama ibunya yang terus menerus
mengkhawatirkannya. Rasa bersalah pun muncul. Ia bahkan sempat mengalami delusi
dan halusinasi. Air minumnya juga mulai habis sehingga Aron terpaksa meminum
air seninya sendiri. Luka di tangannya mulai membusuk dan badannya semakin
lemah. Ia juga terkena dehidrasi dan hipotermia.
Untungnya Aron sangat kuat, dan tetap berusaha untuk mempertahankan
kesadarannya.
Tidak ada jalan lain, satu-satunya cara bagi Aron adalah memotong
pergelangan tangannya. Ia menyiapkan segala peralatan yang bisa digunakan.
Sayangnya, ia salah membawa pisau lipat. Dengan terpaksa Aron menggunakan pisau
lipat tumpul untuk memotong tangannya. Akhirnya ia mengikat bagian pergelangan
tangan yang siap untuk dipotong, dan ditusukannya pisau tumpul itu ke dalam
daging tangannya. Rasa sakit tak tertahankan dari sayatan-sayatan kecil sangat
menyiksanya, tapi Aron tetap bertahan.
Akhirnya, dengan penuh perjuangan dan kenekatan ia berhasil memotong
tangannya. Aron langsung meloncati lembah untuk segera keluar dari tempat ia
terjebak, namun tak kunjung menemukan orang yang bisa menolongnya. Ia hanya
menemukan genangan air kotor yang digunakannya untuk minum dan mencuci muka.
Beruntung ada sebuah keluarga yang lewat dan membantunya. Di sanalah
akhirnya Aron mendapat pertolongan. Aron sendiri kini telah menikah dan tetap
menjalani kehidupannya sebagai pendaki professional walau dengan satu tangan.