Rationo Tuslim, Kepala
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta
|
Jakarta,
Metrolima.com - Ketua Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) DKI Rationo
Tuslim menanggapi santai sorakan yang ditujukan padanya dalam rapat dengan
Komisi A dan beberapa elemen masyarakat.
Sorakan
tersebut dilontarkan buruh dan mahasiswa yang hadir dalam rapat pembahasan
Pergub 228 Tahun 2015 soal unjuk rasa.
"Namanya
juga style orang berbicara, enggak apa-apalah. Mungkin saya sekarang
kualat ya karena waktu jadi mahasiswa, saya begitu juga. Sekarang dibalas
hahaha," ujar Rationo, Rabu (11/11/2015).
Namun, Rationo
menegaskan desakan buruh dan mahasiswa tidak bisa membuat Pemerintah Provinsi
DKI mencabut pergub yang mengatur unjuk rasa. Pergub yang telah dikeluarkan
tidak akan dicabut.
Rationo mengatakan
memang sudah saatnya Jakarta sebagai ibu kota memiliki regulasi soal unjuk
rasa.
Jika ingin
Pergub itu dicabut, kata Rationo, warga dipersilakan mengajukan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi.
Pergub pun bisa
dicabut jika Mahkamah Konstitusi menilai pergub tersebut melanggar
Undang-undang.
"Jadi penolakan itu dipersilakan tapi karena ini sudah diputuskan, ya
harus diberlakukan. Sebelum ada yang membatalkan," ujar dia.
Kemarin, Komisi
A DPRD DKI menggelar rapat membahas Pergub 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian
Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka.
Rapat tersebut
dihadiri oleh perwakilan serikat buruh, BEM mahasiswa, Komnas HAM, dan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH).
Dalam rapat,
mahasiswa dan buruh seringkali menertawakan penjelasan perwakilan Pemprov DKI.
Sesekali mereka juga menyoraki dan berteriak sesuatu di pertengahan rapat.
Situasi rapat
koordinasi ini berbeda dengan rapat Komisi A biasanya. Komisi A memang sering
mengadakan rapat yang mempertemukan pihak eksekutif dengan masyarakat.
Namun, suasana
rapat tidak pernah segaduh ini. Meski menolak kebijakan pemerintah, warga
biasanya mendengarkan penjelasan eksekutif dan menyampaikan pembelaan mereka
dengan tenang.
Seperti yang banyak diberitakan, Pergub 228 mendapat penentangan dari banyak pihak karena dinilai mengekang kebebasan mengemukakan pendapat.
Karena aksi
unjuk rasa hanya boleh dilakukan di tiga tempat, yakni di Parkir Timur Senayan;
Alun-alun Demokrasi DPR/MPR RI; dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas).
Materi Pergub
yang baru difokuskan pada perubahan Pasal 4, yakni tidak lagi dibatasinya
lokasi unjuk rasa.
Dalam peraturan
tersebut dinyatakan bahwa tiga lokasi yang ada pada Pergub sebelumnya bukanlah
lokasi wajib, melainkan hanya lokasi yang disediakan oleh Pemprov DKI.(kmps/jes/kis/jat)