Headlines News :
Home » » Surat Kabar Indonesia, Mati Satu Layu Seribu

Surat Kabar Indonesia, Mati Satu Layu Seribu

ilustrasi surat kabar di Indonesia
Nasional, Merdeka.com - Pesan berantai lewat aplikasi whatsapp beredar pada 6 November, mengabarkan Surat Kabar Sinar Harapan tidak lagi terbit per 1 Januari 2016. Bukan cuma edisi cetaknya, versi online koran itu (sinarharapan.co) ikut dilikuidasi.


Neraca keuangan media ini sejak diterbitkan ulang pada 2001 oleh jurnalis senior Aristides Katoppo dan H.G. Rorimpandey, ternyata tidak sehat. Investor melepas sepenuhnya kepemilikan, sehingga Sinar Harapan akhirnya bubar jalan. "Segala kewajiban terhadap seluruh karyawan serta kontributor tetap akan dipenuhi sesuai aturan yang berlaku," seperti tertulis dalam pesan itu.
Pembaca maupun sesama pelaku industri media ramai membahasnya di jejaring sosial. Sinar Harapan, terbit perdana 27 April 1961, termasuk sukses bertahan sekaligus dibaca lebih dari dua generasi penduduk Indonesia. Sepanjang 1970-1980-an, harian ini berani mengungkap dugaan korupsi pemerintah Orde Baru, sehingga berulang kali dibredel.
"Jaman dulu, siapa tak kenal 'Sinar Harapan', sebagai raja koran sore," tulis Iman Brotoseno, salah satu selebritas twitter lewat akun @imanbr.
Tapi kabar buruk dari Sinar harapan ini cuma satu dari sekian badai yang sedang menghantam industri media cetak di Tanah Air. Sebelum Sinar Harapan menyerah, beberapa kelompok perusahaan media skala nasional lainnya mengumumkan limbung.
BeritaSatu Holding termasuk yang ikut mengangkat tangan tahun ini. Harian berbahasa Inggris, the Jakarta Globe, menutup lini cetak sejak September lalu, beralih sepenuhnya ke media online.
Demikian pula langkah yang diambil PT Tempo Inti Media Tbk. Salah satu media mereka, Koran Tempo Minggu, dihentikan penerbitannya, untuk kemudian digabungkan dengan edisi Sabtu. Namanya diubah menjadi Koran Tempo akhir pekan.
Berikutnya Harian Bola milik Grup Kompas Gramedia ikut ambruk per akhir Oktober. Penutupan media olahraga populer ini seakan mengulang episode buruk tahun lalu, ketika delapan majalah dan dua unit usaha Kompas Gramedia ditutup, dengan alasan tak jauh beda: masalah finansial.
Alhasil, Oktober-November menjadi bulan kelabu industri media secara keseluruhan.
Mencermati semua rentetan peristiwa yang sedang melanda industri, merdeka.com memutuskan membuat laporan khusus membahas masa depan industri media, terkhusus, media cetak.
Tidak semua perusahaan mengungkap detail alasan di balik kebijakan bisnis itu. Dugaan sementara adalah perkembangan Internet yang masif, menggerogoti ceruk pembaca cetak. Pengguna Internet di Indonesia, termasuk yang memanfaatkannya untuk membaca berita, tahun lalu mencapai 88,1 juta orang. Sedangkan peningkatan oplah media cetak secara nasional tak sampai 0,5 persen.
Namun pengamat maupun pelaku industri kurang menyepakati teori matinya koran lantaran sepenuhnya kalah bersaing dari media online. Biang kerok utamanya lebih pada pelemahan perekonomian nasional sepanjang 2015. Perusahaan memotong anggaran iklan dan promosi, merespon lesunya kondisi ekonomi Tanah Air.
Survei Nielsen menunjukkan pengiklan mulai mengurangi belanja ke media cetak, lebih besar dibanding format media lainnya. Sepanjang Januari-Juni 2015, baik koran dan majalah ataupun tabloid, belanja iklan yang diterima hanya 28,2 persen dari total kue iklan nasional atau setara Rp 16,12 triliun. Itu artinya pertumbuhannya minus delapan persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Hasil penelitian Media Care mengabarkan pemandangan tak jauh beda. Sepanjang 14 tahun terakhir, setidaknya lebih dari 1.300 penerbitan di seluruh provinsi terpaksa gulung tikar. Semua yang kini almarhum itu punya lini bisnis utama media cetak, baik harian, dwimingguan, ataupun majalah.
Informasi awal, dari lembaga pemantau iklan independen Indonesia, semua jenis bisnis media massa banyak mengalami target perolehan iklan yang meleset untuk triwulan III dan IV tahun ini, termasuk televisi yang paling digdaya merebut kue iklan.
Jika TV yang jaya saja penghasilannya menurun, adakah cara buat media cetak yang masih bertahan tidak menyusul ribuan lainnya yang sudah masuk kubur?
Di negara-negara berkembang Asia, bisnis media cetak sebetulnya sedang tumbuh. Misalnya Myanmar atau China. Tapi di Indonesia, sepertinya kemarau berkepanjangan, akan lebih sering menyambut pelaku industri.
Lebih dari itu, bagaimana situasi tahun depan, akankah ada pemain lain ikut limbung? Bagaimana pula nasib pemain kecil, utamanya agen dan loper, yang selama ini ikut menikmati berkah media cetak? (mrdk/ard/jat)
Share this article :

<<< Mari Bergabung Bersama Kami >>>

*** Telah Terbit Edisi 146 Tahun Ke-10 ***

*** Telah Terbit Edisi 146 Tahun Ke-10 ***
DAPATKAN SECARA BERLANGGANAN : Tabloid Dwi-mingguan : MEDIA CETAK DAN ONLINE : Berita Lengkap, Isi dan Tampilan Baru : Wisata, Kuliner, Info Kesehatan dan Kecantikan, Keluarga, Kisah Nyata, Misteri, Zodiak, Selebrita Dll.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. tabloidmetrolima - All Rights Reserved