Headlines News :
Home » » Dewi Krisnawati, 17 Tahun Hidup Bersama Lima Kanker

Dewi Krisnawati, 17 Tahun Hidup Bersama Lima Kanker


Dewi saat dalam perawatan
Kisah Nyata, Metrolima.com - Sekilas, tak ada yang berbeda pada diri Dewi Y Krisnawati (42). Tubuhnya segar meski sedikit kurus. Wajahnya selalu ceria. Dia juga bisa beraktivitas normal. Padahal, 17 tahun lamanya Dewi hidup dengan lima jenis kanker, yang tumbuh silih berganti. ”Memang berat, namun saya akhirnya menyadari, ini hadiah terindah dalam hidup saya. Dengan kanker, saya bisa banyak mensyukuri hidup. Ternyata Allah sayang sama saya. Allah masih kasih kesempatan untuk berobat. Di luar sana, banyak yang nggak bisa berobat,” ujar Dewi.

Kanker mulai menggerogoti saat ibu dua anak itu berusia 26 tahun. Saat itu tahun 1997, Dewi mendapati ada benjolan di lehernya. Namun, dia mengganggap itu benjolan biasa yang bisa sembuh dengan obat bebas. Kalaupun demam tinggi, dia mengatasinya dengan minum obat penurun demam. Bukannya hilang, benjolan di leher Dewi terus membesar dan membuatnya sulit menelan. Ia pun memeriksakannya ke dokter. ”Jumat sore ke dokter, saya disarankan agar benjolan itu segera diangkat Senin pagi, karena sudah menyebar ke kelenjar getah bening,” ujarnya.

Sesudah sembuh
Kanker Tiroid
Selasa pagi, 22 Juni 1997, Dewi akhirnya menjalani operasi selama dua jam di RS Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Tak ada rasa takut sedikit pun, meski itu adalah kali pertama dioperasi. ”Mungkin karena masih muda, nggak mikir risiko operasi dan lainnya,” ucapnya seraya tersenyum. Saat sadar dari pengaruh bius paskaoperasi, Dewi menyadari dirinya ada di ruang isolasi, dengan banyak selang menempel di tubuhnya. Dia melihat sekeliling, dan mendapati keluarganya ada di balik kaca sambil melambaikan tangan. Ada yang menangis, ada yang berdoa. ”Saya mau bicara, tapi nggak bisa,” kenang Dewi.
Sang suami, Hartadi Novianto, yang setia menunggu saat operasi, yang pertama menyapa Dewi paskaoperasi. Dia berusaha menguatkan istrinya. ”Kamu tenang dik, penyakitnya sudah dihilangkan. Sekarang belum bisa bicara karena masih pemulihan,” ujarnya. Setelah operasi, banyak saudara dan kerabat yang menjenguk Dewi. Tak sedikit dari mereka yang menangis, hingga membuat Dewi keheranan. ”Apalagi ada yang mengatakan saya harus kuat, seperti Tanti Yosepha (aktris yang di masa hidupnya harus berjuang karena kanker, red),” ungkapnya.
Dewi makin bingung. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. ”Kenapa disamain dengan Tanti Yosepha? Apa sebenarnya penyakitnya?” Hingga saat Dewi pura-pura tidur, dia mendengar obrolan kerabatnya yang membicarakan penyakitnya. Dari situ dia tahu kalau menderita kanker tiroid stadium 3A. ”Rasanya bagai disampar petir,” ucapnya, lirih. Ketika suaminya datang, lewat tulisan Dewi menanyakan apa benar dia menderita kanker tiroid, dan seperti apa sebenarnya penyakit itu. Sang suami hanya bisa menenangkan dengan mengatakan bila penyakitnya sudah diangkat. ”Katanya, biar dokter yang menjelaskan,” ujarnya.

Dewi Bersama Keluarga
Ada Benjolan Lagi
Esok harinya, Dewi menanyakan penyakitnya kepada dokter. Dan, dibenarkan bila dia kena kanker tiroid. Dokter berusaha menenangkan, karena penyakitnya sudah diangkat dan semua sudah dibersihkan. Namun, karena tiroid berfungsi untuk metabolisme tubuh, dan itu sudah diangkat, Dewi harus mengonsumsi hormon sintetik seumur hidupnya. Dewi pun berusaha tenang. Kekhawatiran mulai muncul ketika hingga dua minggu paskaoperasi, dia belum bisa bicara. Dewi khawatir tidak bisa lagi bekerja sebagai customer service. ”Kata dokter, letak tiroid dekat dengan pita suara. Tapi, dokter meyakinkan bila operasi tidak menyentuh pita suara sedikit pun. Cuma saya masih dalam masa pemulihan,” bebernya.

Dewi baru bisa bicara lagi 2,5 bulan pascaoperasi. Itu pun terjadi tanpa sengaja. Saat itu, dia melihat putri pertamanya Fannyya yang saat itu 1,5 tahun, berlari ke jalan. Sontak Dewi berteriak memanggil suster. ”Rasanya tak percaya, akhirnya saya bisa bicara lagi,” katanya, bersyukur. Usai operasi, Dewi tidak menjalani terapi apa pun, karena dokter meyakinkan jika sel kanker di tiroidnya sudah bersih. Dia hanya wajib memeriksa kesehatannya enam bulan sekali. Pada pemeriksaan pertama, tubuh Dewi masih bebas kanker. Namun, belum genap satu tahun, Dewi merasakan ada benjolan lagi di lehernya. Dia pun segera memeriksakannya. ”Kata dokter, masih ada sel kanker yang tertinggal. Jadi, harus dioperasi lagi,” kata Dewi yang menjalani operasi ke dua pada 28 Mei 1998.

Selain operasi, Dewi juga harus menjalani ablasi (terapi radioaktif) selama lima hari di RS Kanker Dharmais. Rasa takut melanda Dewi, karena berada di ruang isolasi sendirian. ”Itu ruangan radioaktif tinggi dan hanya saya yang ada di situ. Saya takut,” kata Dewi. Tak mau lama-lama menjalani ablasi, Dewi bertanya kepada dokter, apa yang bisa dilakukan agar radioaktif dalam tubuhnya bisa segera keluar. Dia disarankan banyak minum air putih. Dewi pun mengikuti saran itu. Bergalon-galon air putih diminumnya. ”Saya hanya berpikir ingin cepat keluar dari ruang isolasi itu. Syukurlah, saya hanya menjalani ablasi tiga hari,” katanya.

Kanker Payudara
Setelah ablasi, Dewi dinyatakan bersih dari kanker. Dia pun menjalani kehidupan normal sebagai istri dan ibu. Bahkan, dia dan suami sepakat memberikan adik untuk Fannyya. Sayang dokter menyarankan menunda hingga lima tahun lagi, untuk memastikan kanker tak menyerang lagi. Namun, baru empat tahun paskaablasi, tepatnya 9 November 2002, Dewi melahirkan anak keduanya, Bintang. Saat Bintang 1,5 tahun, lagi-lagi Dewi mendapati ada benjolan di tubuhnya. Kali ini di payudara kirinya. Saat itu, dia berpikir, benjolan itu air susu yang tidak keluar. Sebab, dia tidak merasa ada perubahan pada payudaranya. ”Saat hamil pertama, ukuran bra saya berubah dari 32 jadi 36. Tapi, waktu hamil kedua, tidak berubah,” terangnya. Dewi segera periksa ke dokter. Dia khawatir sel kanker menyebar ke organ lain di tubuhnya.

Namun, dokter meyakinkan, tidak mungkin dari tiroid ke payudara. Kanker tiroid biasanya menyebar ke paru dan tulang belakang. Dewi pun merasa tenang. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Makin hari, dia merasa payudaranya nyeri. Tak mau terjadi apa-apa, dia mencari opsi lain. Dia minta pengantar ke RS Dharmais, yang khusus menangani kanker. ”Saya ambil keputusan sendiri, karena permintaan saya untuk mamografi tidak dikasih. Alasannya, usia saya masih di bawah 35 tahun,” jelasnya. Dengan surat pengantar dari dokter umum, Dewi menjalani mamografi. Betapa terkejutnya dia ketika hasil pemeriksaan menunjukkan ada sel kanker berukuran 3,8 x 3,5 sentimeter di payudara kirinya. Saat itu Dewi tak bisa menerima kenyataan. Tubuhnya gemetar, air matanya tumpah. Perasaannya campur aduk, antara marah, takut dan sedih.

Lima bulan Dewi berobat alternatif, dan merasakan benjolan di payudaranya mengecil. Anehnya, meski benjolan mengecil, payudaranya justru membengkak keras, seperti balon akan meletus. Kulit payudaranya mengerut seperti jeruk, dan putingnya masuk ke dalam. Sakit yang luar biasa pun dia rasakan. Setiap malam Dewi menangis, karena tak kuat menahan rasa sakit. Kalau sudah begitu, dia akan minum obat penghilang nyeri. Melihat penderitaan istrinya, Hartadi mengultimatum Dewi agar kembali ke dokter. Dewi menyerah. Dia akhirnya mengikuti saran suaminya. Pemeriksaan pun segera dilakukan. Hasilnya, kanker payudaranya sudah naik jadi stadium 3B, sehingga tidak bisa langsung dioperasi. ”Saya hanya bisa pasrah apa pun yang akan dilakukan dokter. Termasuk mengangkat payudara. Yang penting nyawa saya masih bisa diselamatkan,” kenangnya.

Menyebar ke Paru-paru
Saat itu Satu hal yang dikhawatirkan Dewi adalah proses kemoterapi, yang bisa berefek pada tubuh. Mengetahui itu, dokter berpesan bahwa satu hal yang harus diingat saat kemoterapi adalah mindset. ”Kalau berpikir positif, hasilnya akan positif. Kalau berpikir muntah, pasti akan muntah,” ucapnya. Dewi mengikuti saran dokter. Desember 2005, dia menjalani kemoterapi pertama. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kemoterapi sangat penting untuk menyembuhkan kanker. Jadi, dia harus melawan rasa sakit yang mungkin muncul. ”Ternyata, kemoterapi nggak sedahsyat yang dibayangkan. Memang ada rasa mual, tapi itu bisa dihindari dengan makan yang banyak,” ujar Dewi yang sempat menyesal tak menjalani kemoterapi sejak divonis kanker payudara.

Menyebar ke Otak
Tujuh bulan paska pembersihan sel kanker di paru, Dewi harus kembali menerima kenyataan pahit, sel kanker menyebar ke otak kecilnya. Dia curiga ada sesuatu, karena sering pusing hebat. Rasa sakit itu hilang sementara setelah minum obat. Tiba-tiba, Dewi punya feeling sel kanker sudah menyerang otaknya. Saat itu, dia langsung berpikir, hidupnya tinggal sebentar. Sebab, teman-temannya yang kena kanker otak hidupnya hanya bertahan enam bulan. Namun, itu tak membuat Dewi berhenti beraktivitas, termasuk menjalankan papsmear rutin di lingkungan rumahnya. Hingga suatu ketika, saat melakukan aktivitasnya itu, Dewi ambruk karena sakit kepala luar biasa. Dia pun dibopong pulang ke rumah. Sampai di rumah, dia muntah hebat dan langsung dilarikan ke RS Mitra Kelapa Gading yang dekat rumahnya.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan di kepala, Dewi bisa menebak hasilnya ketika dokter membawa berkas-berkasnya. ”Sampai dokternya bilang, Mbak Dewi pinter nebaknya,” ujarnya seraya tertawa. Dewi menyadari, kondisinya sudah parah. Namun, dia tetap tenang. Dokter yang menanganinya saat itu belum bisa bertindak, karena dokter utamanya masih di luar negeri. Dewi hanya diberi obat agar tidak sampai kejang. Sebab, bila itu terjadi, dia bisa koma. Dewi menurut saja apa yang dilakukan dokter. Dewi hanya bisa bersyukur masih diberi kesempatan hidup meski ada sel kanker di otaknya. Dia semakin ikhlas ketika saat di rumah sakit melihat kabar jebolnya Situ Gintung yang merenggut puluhan nyawa.

”Jika Allah berkehendak, pasti terjadi. Saat orang tidur saja bisa meninggal karena tersapu air. Saya yang memang ada penyakit bisa kapan saja ditakdirkan Allah. Saya merasakan keikhlasan dan semangat untuk sembuh,” kata Dewi yang bersyukur mendapat kesempatan hidup berulang dari Allah. Semangat itu juga datang dari dokter utama Dewi yang begitu tiba di Jakarta pukul 03.00 WIB, langsung menemuinya di RS. Mereka ngobrol banyak hal. Dari obrolan itu, dokter yakin bila penyakit Dewi bisa disembuhkan. Sebab, dokter melihat semangat dalam tubuh Dewi.

Namun, di saat Dewi bersemangat menjalani pengobatan kanker otak di Indonesia, suaminya justru goyah. Apalagi ketika dokter akan mengambil cairan di otak kecil Dewi. ”Suami khawatir terjadi sesuatu pada diri saya. Dia nyaranin cari opsi kedua dengan melakukan pemeriksaan di Singapura. Tentu saja saya tolak. Saya tanya, mau bayar pakai apa? Suami bilang, bisa jual mobil atau apa pun yang ada,” kenangnya. Bukan karena sayang harta Dewi menolak menjalani pengobatan ke Singapura. Namun, dia berpikir, pengobatan yang dijalaninya akan sangat panjang. Dia tidak mau meninggalkan anak-anaknya.

Pasrah
Saat itu, Dewi sudah ikhlas. Dia juga minta suaminya ikhlas dan ridho dengan pengobatan di Indonesia, termasuk risiko yang akan terjadi. Dewi hanya berpesan, jika operasi tidak berhasil, suaminya tidak boleh menyalahkan dokter. Akhirnya, 17 Maret 2009, Dewi menjalani operasi pengambilan cairan di otak kecilnya di RSCM. Operasi berjalan lancar. Dewi pun langsung dibawa ke ruang HCU (High Care Unit). Tak butuh waktu lama untuk pemulihan pascaoperasi. Sebulan kemudian, tepatnya April 2009, dia menjalani stereotactic radiosurgery. Sel-sel kanker di otaknya berhasil ’ditaklukkan’.


Tapi, kelegaan itu tak berlangsung lama. Seminggu paskaoperasi, usai menjalani pemeriksaan lengkap, diketahui bila sel kanker sudah menyebar ke tulang belakang. Awalnya, Dewi santai menceritakan kondisinya kepada suami. Namun, air matanya tumpah ketika sang suami memintanya agar tetap sabar. Dia meratapi nasibnya yang buruk. ”Baru selesai operasi kok harus mulai berobat lagi. Rasanya nggak ada istirahatnya,” kata Dewi seperti diceritakan kepada Nyata. Namun, dokter meyakinkan bila kanker tidak berkembang, karena Dewi rutin kemo oral sejak Mei 2009 hingga September 2012. Sayangnya, kemo tersebut membuatnya sering pendarahan. Akibatnya, Dewi sering menjalani kuretase.

Karena sering dikuret dan khawatir sel kanker menyebar sampai rahim, dokter menyarankan ovarium dan rahimnya diangkat. Dewi setuju. Akhirnya, pada 22 Desember 2009 dia menjalani operasi tersebut. Dan, September 2012, Dewi selesai menjalani pengobatan kanker lewat kemoterapi oral. Meski dihadapkan kanker berulang kali, Dewi tetap mengambil hikmah dari semua penyakit dalam tubuhnya. ”Allah banyak kasih bonus ke saya. Saya masih diberi kesempatan berbuat baik pada banyak orang. Kanker bukan berarti mati dan bukan akhir segalanya. Kita bisa hidup lebih baik lagi, berkualitas dan berarti. Caranya, kita harus berdamai dengan kanker,” ujar Dewi, tersenyum.
Share this article :

<<< Mari Bergabung Bersama Kami >>>

*** Telah Terbit Edisi 146 Tahun Ke-10 ***

*** Telah Terbit Edisi 146 Tahun Ke-10 ***
DAPATKAN SECARA BERLANGGANAN : Tabloid Dwi-mingguan : MEDIA CETAK DAN ONLINE : Berita Lengkap, Isi dan Tampilan Baru : Wisata, Kuliner, Info Kesehatan dan Kecantikan, Keluarga, Kisah Nyata, Misteri, Zodiak, Selebrita Dll.

BERITA POPULAR

 
Copyright © 2015. tabloidmetrolima - All Rights Reserved