Nestri Puji Rahayu, S.Pd |
Kalimulya,
Metrolima.com - Stasiun TV swasta tolak lulusan SMK bekerja, dan praktik kerja
industri siswa. Bahkan stasiun TV milik pemerintah, seperti TVRI, membatasi
kuota prakerin siswa. Melihat kondisi seperti ini para kepala SMK penyiaran
kecewa, dan meminta pertanggungjawaban Kemendikbud yang membuka kran jurusan
broadcast.
Menurut
kepala SMK Tunas Multi Raya Depok, Nestri Puji Rahayu, S.Pd, Kemendikbud
seyogyanya melihat pangsa pasar jurusan. “Jangan main buka begitu saja jurusan
ini, “ungkapnya. Ia sendiri mengaku tidak tahu proses pembentukan jurusan
broadcast, apakah telah diadakan study banding dengan daerah lain atau belum.
Pemerintah
dalam hal ini Kemendikbud pasti banyak orang pintarnya. Mereka memahami betul
tentang kurikulum sekolah. “Jadi aneh jika pemerintah membiarkan begitu saja
kondisi siswa SMK penyiaran tanpa solusi, semestinya pemerintah ber MOU dengan
pihak stasiun televisi swasta, “ujar Nestri. Selama ini kita mengikuti aturan yang
diberlakukan Kemendikbud, dan berharap pelajar SMK broadcast memiliki
ketrampilan yang mumpuni untuk siap bekerja, baik di dunia kerja maupun
kemandirian/wirausaha. Mereka bukan sekedar lulus mendapatkan ijasah semata,
melainkan juga punya sikap dan tanggung jawab profesional dibidangnya. “Kalau
di sekolah saya TMR, siswa dikondisikan untuk disiplin dan siap bekerja
mandiri, dan tidak bergantung di dunia televisi, “ paparnya.
Wakil
Kurikulum SMK Atlantis, Muliawan, S.Pd.I, menilai kemendikbud harus bertanggung jawab atas perekrutan lulusan pelajar SMK
Broadcast. Tidak membiarkan siswa wajib kuliah. SMK dibentuk, adalah untuk
memberikan kesempatan pelajar lulusannya dapat bekerja, bukan sebaliknya
seperti SMA yang memang dipersiapkan buat kuliah di perguruan tinggi. “Tidak
ada tingkat SMK harus kuliah D-3, “ungkapnya. Kemendikbud harus bisa
mempelopori atau menjembatani persoalan lulusan penyiaran ke depannya, termasuk
aturan di TVRI.
Sedangkan
pemilik SMK Atlantis, Wardah, mengaku telah mempersiapkan atau mengantisipasi
lulusan pelajar SMK penyiaran, jauh sebelum kondisi krusial ini terjadi. “Saya
telah siapkan akademi penyiaran untuk menampung lulusan SMK penyiaran di daerah
Depok tahun ini. Jika memang para pelajar itu harus kuliah lagi di tingkat
diploma. Saya yakin mereka tertarik, “tuturnya.
Pernyataan tidak menyenangkan dari beberapa stasiun
televisi swasta ini terkuak, setelah pihak stasiun televisi swasta yang
sebelumnya tertarik untuk dijadikan tempat praktik kerja industri oleh pelajar
SMK penyiaran, menolak pelajar prakerin dan bekerja, setelah menemukan berbagai
persoalan.
Menurut sumber di stasiun televisi swasta maupun pemerintah
(TVRI), para pelajar cenderung belum memiliki sikap tanggungjawab terhadap
kinerjanya. Banyaknya alat penyiaran yang bernilai puluhan, bahkan ratusan juta
rupiah rusak oleh ulah oknum pelajar. Akibatnya mereka harus menanggung
kerugian dari kerusakan tersebut. Selain itu juga, kurangnya pembimbing atau
pelatih selama mereka prakerin (praktik kerja industri) juga menjadi masalah.
Tidak ada yang memantau atau mengawasi siswa praktik. Banyak siswa tidak
disiplin dalam prakerin. Mereka kerap juga melakukan kesalahan teknis yang
berdampak pada kerusakan alat.
Ketua Umum Asosiasi Guru Broadcast Indonesia (AGBI), Anton
Mabruri, menilai dalam sumber daya manusia harus mempunyai guru yang berkompeten
dibidang broadcast yang dalam satu sekolah minimal empat orang guru. Sekolah
harus wajib mengup grade alat sesuai perkembangan industri yang berjalan.
“Semua harus berkorelasi dengan pembentukan SDM dan
instalasi SDA juga wajib berkonsultasi dengan industri. Nanti semua akan
berjalan dengan baik, “katanya. Belum lama ini AGBI berseminar dan workshop
untuk membuat televisi komunitas atau video streaming sebagai solusi untuk
mengantisipasi penolakan stasiun televisi swasta dan pemerintah terhadap prakerin
para pelajar SMK penyiaran.(RadM)