Islah Golkar yang dimediasi JK |
JAKARTA-METROLIMA NEWS Demi Pilkada, Partai Golkar yang kisruh sepakat
berdamai. Kubu Ical dan Agung setuju untuk mengendurkan ketegangan, dan mengajak
kader siap ikut dalam pemilihan kepala daerah. Namun, fakta di lapangan
mekanisme damai tersebut masih jadi tanda tanya, dan dianggap akal-akalan tanpa
penuntasan yang jelas.
Kesepakatan yang dicapai dua kubu di internal Partai Golkar dianggap hanya
sebatas siasat politik. Sebab, kesepakatan itu dinilai hanya dilandasi
keinginan agar Partai Golkar dapat mengikuti pemilihan kepala daerah serentak
dan tidak menjamin terjadinya islah kepengurusan.
"Hanya islah terbatas. Akal-akalan untuk menyiasati pemenuhan syarat
ikut pilkada," kata pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto,
seperti dilansir Kompas.com.
Nico melanjutkan, seharusnya dua kubu yang berselisih di internal Partai
Golkar dapat lebih serius mengupayakan islah kepengurusan. Langkah terbaik
adalah harus ada pihak yang legawa, atau berkomitmen menghormati dan
melaksanakan putusan hukum terkait sengketa kepengurusan Golkar.
Jika hanya sebuah kesepakatan terbatas, atau yang disebut Golkar sebagai
islah khusus, Nico menilai hal itu tidak menyelesaikan masalah. Karena
ketegangan akan kembali muncul saat memutuskan kepengurusan yang akan
mendaftarkan bakal calon kepala daerah dari Partai Golkar.
"Islah khusus tetap tidak menjamin ada islah tentang kepengurusan yang
definitif. Harusnya legawa, atau buat kepengurusan bersama dengan satu
AD/ART," ucap Nico.
Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menandatangani kesepakatan yang disebut
dengan islah khusus demi menjamin keikutsertaan Golkar dalam pilkada serentak,
Sabtu (30/5). Pilkada serentak digelar pada Desember 2015. Penandatanganan
kesepakatan melibatkan tokoh senior Golkar sekaligus Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Kalla menjadi saksi dan tuan rumah acara tersebut.
Ada pun kesepakatan yang dicapai itu adalah mendahulukan kepentingan Partai
Golkar ke depan. Dengan demikian, kedua kubu dapat mengusung calon dalam
pilkada serentak, membentuk tim penjaringan bersama di daerah, memilih calon
yang akan diusung dalam pilkada serentak sesuai dengan kriteria yang
disepakati, dan menyerahkan proses pendaftaran calon kepala daerah pada pada
kepengurusan Golkar yang diakui KPU.
Aburizal dan Agung sama-sama berharap kesepakatan ini dapat menjadi titik
awal tercapainya islah kepengurusan.
Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla (JK) yang juga pernah menjadi Ketua Umum
Partai Golkar berhasil menjadi juru damai 2 kubu di tubuh Golkar yang sedang
berseteru. Ia meminta kedua kubu tetap tenang agar Golkar tak lagi berseteru
dan bisa ikut Pilkada.
"Saya harap semuanya itu, yakni 2 pihak saya sudah bicara low profile,
jangan bikin statement yang keras. Yang penting dulu tujuan utamanya Golkar
ikut pilkada," kata JK di kantornya.
Ia mengatakan kedua kubu harus menekan ego masing-masing untuk kepentingan
Golkar yang lebih besar. Ia meminta kader Golkar harus menjaga situasi lebih
tenang agar tak kembali berseteru.
"Saya minta lebih tenang. Saya kira itu. Yang penting ikut Pilkada
dulu," lanjutnya.
Di sisi lain, Putusan sela Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (Jakut) yang
menyatakan Partai Golkar kepengurusan Agung Laksono hasil Musyawarah Nasional
(Munas) Ancol status quo, membuat Bambang Soesatyo selaku Bendahara Umum Partai
Golkar hasil Munas Bali mendesak Aburizal Bakrie atau biasa disapa Ical hasil
Munas Bali menolak islah dengan pihak Agung Laksono.
"Sebenarnya perundingan tim penjaringan ini tidak diperlukan lagi, karena
jelas Munas Ancol sudah tidak diakui lagi berdasarkan keputusan
pengadilan," tegas Bambang.
Dia menambahkan, Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang
mengesahkan Partai Golkar kepengurusan Agung Laksono juga sudah dicabut melalui
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Karena legal standing Munas Ancol sudah tidak diakui lagi, kalau kita
tetap berunding dan islah berarti kita masih menganggap dan mengakui kubu Munas
Ancol yang abal-abal itu," jelasnya.
Kondisi Damai yang dinilai sejumlah pihak sebagai bohong-bohongan ini,
membuat kader Golkar di daerah bingung, seperti terjadi di Sulawesi Selatan.
Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Sulsel, Syamsuddin Lagu dan kawan-kawan, mengingatkan, hanya kubu Agung Laksono
yang berhak dan sah meneken calon 01 Pilkada di Sulsel, khususnya.
Menurutnya, bakal calon kepala daerah yang mengincar Golkar wajib menjalin komunikasi dengan DPP Golkar versi Munas Ancol.
Lagu cs menegaskan, bukan versi Munas Bali yang diikuti 'Komandan’, julukan
Syahrul. Jelas, ini mengusik sah tidaknya status Syahrul sebagai 01 Golkar Sulsel.
“Kami mau mengingatkan teman-teman calon kepala daerah supaya tidak salah
komunikasi di DPP. Kami mau mengingatkan lagi bahwa DPP Golkar
hasil Munas Bali itu menolak pilkada langsung,
justru kami di Ancol memperjuangkan agar kepala daerah tetap dipilih rakyat
bukan DPRD,” kata Syamsuddin.
Syamsuddin bersama Wakil Sekretaris DPD II Golkar Gowa, Sugianto Pattanegara. Keduanya meminta Tim 9 tidak kaku dengan jadwal
penjaringan kepala daerah.
“SK calon kepala daerah nanti itu diteken Agung Laksono dan Zainuddin Amali.
Karena pilkadanya langsung. Seandainya pilkada di DPRD, berarti Aburizal dan
Idrus Marham yang bertandatangan,”tambah Sugianto.
Syamsuddin dan Sugianto mengaku banyak DPD II Golkar di Sulsel juga mendukung keputusan Munas Golkar Ancol karena forum munasnya menyetujui pilkada langsung.
Syamsuddin menyebut ada 17 DPD II Golkar di Sulsel mengirim utusan ke Ancol (Lihat DPD II Golkar
ke Munas Ancol).
“Sebenarnya Bantaeng juga mau mengirim utusan ke Ancol tapi ketinggalan
pesawat,” ujar Sugianto.
Meski mengaku pendukung Munas Ancol, Syamsuddin dan Sugianto tetap mengakui Syahril Yasin Limpo sebagai Ketua DPD I Golkar Sulsel.
“Kita ke Ancol bukan untuk mengejar jabatan, tapi karena kecewa Munas Bali yang
merekomendasikan pilkada kembali ke DPR/DPRD,” lanjut Syamsuddin.
Dua orang ini mengaku sudah bertemu Syahrul menjelaskan pilihan politiknya.
(MELI)