Spanduk Gugatan Class Action warga Bidara Cina Jaktim |
Jakarta, Metrolima.com - Warga Bidara Cina bersedia direlokasi Pemprov DKI untuk kepentingan
pembangunan sodetan kali Ciliwung-Kanal Banjir Timur (KBT). Mereka menolak
pindah rusun dan justru meminta uang ganti rugi.
"Kami tidak menolak inlet. Kami bahkan mendukung.
Tapi kami tidak mau dipindahkan ke rusun. Kami hanya mau kalau ganti rugi
seperti pembicaraan awal," kata perwakilan warga yang terkena rencana
relokasi di Bidara Cina, Jakarta Timur, Asriani saat dihubungi detikcom, Selasa
(25/8/2015) malam.
Ia mengatakan Pemprov DKI sempat menjanjikan ganti
rugi pada warga yang rumahnya akan direlokasi untuk proyek sodetan tersebut. Di
pembahasan awal, Pemprov DKI bahkan tak meminta warga menunjukkan Surat Hak
Milik (SHM) tanah dan bangunan yang mereka tempati. Namun, belakangan
kompensasi itu berubah.
"Pemprov mengatakan ada tanah mereka di sini.
padahal sejujurnya kami tidak pernah tahu ada tanah milik Pemprov DKI di sini
karena berpuluh-puluh tahun kami tinggal di sini, tidak pernah bersengketa
dengan pihak mana pun," ucap perempuan yang tinggal di RT 04/04 ini.
Pemberitahuan soal relokasi ini diterima warga Bidara
Cina awal 2014. Saat itu, mereka diberitahu akan ada relokasi warga untuk
proyek sodetan Kali Ciliwung-KBT. RT yang terkena proyek ini adalah RT 09/04.
Dalam Amdal proyek ini pun masih tertulis 1 RT.
Singkat kata, setelah beberapa kali pertemuan, warga
bersedia direlokasi namun diberikan uang ganti rugi berdasarkan harga appraisal
bangunan milik mereka. Hal ini disebutnya disanggupi oleh Pemprov DKI.
Nah pada Mei 2014, mereka berhasil bertemu Ahok untuk
membahas relokasi ini. Dalam pertemuan itulah, diberi tahu bahwa ada tanah
milik Pemprov di antara tanah yang akan dibebaskan itu. Saat itu, ia menyebut
Ahok memperlihatkan raut seperti baru tahu bahwa ada tanah Pemprov dalam proyek
itu.
"Begitu tahu ada sertifkat Pemprov DKI, Ahok
langsung bilang nggak ada negosiasi lagi. Yang paling mungkin direlokasi ke
rusun. Tidak akan diberikan ganti rugi. Itu yang warga tidak terima,"
terangnya.
Asriani yang sehari-hari bekerja sebagai peneliti
lembaga kajian advokasi dan peradilan ini menilai langkah tak memberi uang
ganti inilah yang memberatkan warga. Ia mengatakan warga hanya mau uang ganti
rugi dan bukan rusun.
"Maunya ganti rugi supaya bisa mencari tempat
yang akses sosial nggak jauh dari sini, supaya taraf hidupnya nggak turun
banget," ucapnya.
"Kebanyakan warga di sini bekerja di sektor
informal seperti berjualan di depan rumahnya. Itu tidak mungkin dilakukan kalau
melakukan di rusun," ucapnya.
Hal lain yang diperhitungkannya yakni persoalan
psikologis anggota keluarga yang tinggal dalam jumlah banyak namun di unit
rusun yang tak besar. Kini ia dan warga sudah menuntut Pemprov DKI atas proses
relokasi yang dilakukan. Ia tak akan menghalagi relokasi namun prosesnya harus
trasnparan dan tak dipindahkan ke rusun.(Dtik/Mnb/Imk/Jat)