Islah Partai Golkar beberapa waktu lalu |
Jakarta, Metrolima.com – Pasca pengunduran diri Setya Novanto
sebagai ketua DPR, Golkar kubu Agung Laksono minta jatah ketua DPR dilakukan
dengan kocok ulang, permintaan tersebut membuat kisruh kepengurusan Partai
Golkar kembali memanas.
Agung Laksono menginginkan agar
pergantian posisi ketua DPR dilakukan dengan sistem kocok ulang yakni dilakukan
secara sepaket. Dia ingin, pimpinan DPR lainnya seperti Fahri Hamzah, Fadli
Zon, Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan juga lengser.
Kemudian, UU MD3 dikembalikan pada
mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR pada tahun 2009. Di mana
pembagian pimpinan DPR dilakukan dengan mekanisme proporsional tergantung
perolehan suara di pemilu legislatif.
"Kami tidak sepakat langsung
diganti dan lebih baik kocok ulang secara paket. Karena sisa pimpinan DPR ini
tidak efektif lagi. Kita kembali pada UU MD3 yang lama," kata Agung di
kediamannya, Jalan Polonia, Jakarta Timur, Kamis (17/12).
Dengan sistem kocok ulang, menurut
dia, tampuk kepemimpinan ketua DPR dapat dijabat oleh partai pemenang Pemilu,
yakni PDIP. Kemudian, pimpinan DPR lainnya berdasarkan urutan partai setelah
PDIP, yakni Golkar, Gerindra dan Demokrat. Sebab, bila hanya mengganti ketua
DPR saja tanpa pimpinan yang lain, maka sistem yang berjalan akan tidak efektif
dan hanya terkesan tambal sulam.
"Menurut saya kalau hanya
tambal sulam juga tidak efektif. Menurut kami lebih baik kocok ulang,"
tegas Agung.
Agung mengatakan, jika sistem kocok
ulang harus mengubah atau merevisi Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka hal itu mau tidak mau harus dilakukan. Selain itu,
pergantian posisi pimpinan ini diharapkan dapat menjadi momentum menata ulang
parlemen yang kinerjanya dianggap rendah dalam hal legislasi.
"Kalau dulu bisa mengubah
secepat kilat, kenapa sekarang tidak bisa?" tukasnya.
Keinginan Agung itu mendapat
penolakan keras dari kubu Aburizal Bakrie (Ical). Sekretaris Jenderal DPP
Partai Golkar hasil Munas Bali, Idrus Marham meminta Agung Laksono mengikuti
aturan mengisi pengganti Setya Novanto di DPR. Idrus meminta agar Agung
menghormati aturan sesuai putusan PTUN mengenai kepengurusan Golkar.
"Mari kita ikuti sistem itu.
Kalau misalkan Pak Agung mau mengajukan, dalam kapasitas apa? masa telah
memutuskan yang memperkuat putusan PTUN, yang berarti telah mencabut surat
keputusan Menkum HAM tentang pengesahan pendaftaran pengurus Ancol. Saya kira
demikian, ndak usahlah kita grasak grusuk lagi mau ini seakan-akan kita yang
berkuasa," kata Idrus di kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta,
Kamis (17/12).
Idrus meminta mundurnya Setya
Novanto sebagai ketua DPR itu dijadikan pelajaran bagi elite Golkar. Idrus mau
momen ini malah dijadikan elit Golkar untuk memperkuat persatuan dan kesatuan
partai.
"Kalau kita semua, elit-elit
partai Golkar masih saja mengambil langkah-langkah yang tidak sesuai aturan,
kasihan Golkar. Tadi saya bicara dengan bapak Jusuf Kalla, bagaimana agar
supaya momentum ini kita jadikan sebagai momentum untuk memperkuat persatuan
dan kesatuan kita. caranya bagaimana, kita bicarakan bersama," ujar dia.
Mengenai wacana kocok ulang pimpinan
DPR, Idrus pun meminta agar hal itu diselaraskan dengan aturan yang berlaku.
Idrus menyarankan agar hukum dijadikan kendali terhadap seluruh sistem
kehidupan bangsa.
"Jangan lagi kita terbiasa
mengelola bangsa ini tidak bedasarkan pada aturan. kita harus taat asas. apa
kata aturan, itu baru. Jangan kita berpikir kuasai bangsa. Kalau pikir kuasai
bangsa, boleh jadi kita halalkan segala cara yang penting diperoleh. Kalau
pikir tentang bangsa maka kita taat asas dan sistem. Dengan cara itu ada
keyakinan bangsa maju ke depan. Kalau berpikir menguasai maka kelompok yang ada
cenderung bersaing tidak sehat. Kapan kita membangun? Gilirannya Indonesia akan
tertinggal baik secara ekonomi," tandasnya.(mrdk/gil/mlr/jat)