![]() |
Simposium Nasional membedah Tragedi 1965 |
Jakarta,
tabloidmetrolima.com - Presiden
Joko Widodo meminta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut
Binsar Pandjaitan membawa kasus tragedi 1965 ke ranah hukum jika memang cukup
fakta. Bukan cuma kasus 1965, kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu
juga bisa dibawa ke ranah hukum.
"Berkaitan dengan adanya
dugaan, tidak hanya kasus 1965 tetapi peristiwa dugaan pelanggaran HAM masa
lalu, Presiden memerintahkan Menkopolhukam dan jajaran terkait kalau memang ada
fakta bisa dibawa ke ranah hukum," kata Juru Bicara Presiden Johan Budi
kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/4).
Selain jalur hukum, jalur
rekonsiliasi menurut Johan juga bisa ditempu jika memang bukti-bukti yang ada
di lapangan tidak memadai untuk dibawa ke jalur hukum.
Bukti keseriusan pemerintah akan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melalui jalur
hukum selama ini masih ditunggu publik. Sebabnya, penanganan kasus HAM masa
lalu merupakan salah satu dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum
dari Jokowi-JK pada masa kampanye.
Berdasarkan website Komisi Pemilihan
Umum, poin prioritas Jokowi-JK terkait HAM termasuk menyelesaikan kasus
kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang
Sari-Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM
oleh Jokowi selama ini masih dipertanyakan. Pemerintah dinilai lebih condong
pada penyelesaian melalui jalur nonyudisial atau rekonsiliasi.
Ketua Divisi Advokasi dan Hak-hak
Korban KontraS Feri Kusuma mengatakan rekonsiliasi bukan sebuah pilihan
melainkan kewajiban karena hal itu menyangkut hak korban.
Menurutnya, rekonsiliasi dapat
dilakukan jika proses pengungkapan kebenaran, yang berarti menempuh jalur
hukum, sudah diselesaikan. Hal ini menjadi penting untuk menghindari potensi
keberulangan pelanggaran serupa.
Untuk menjawab tekanan publik,
pemerintah kemudian menggelar sebuah simposium nasional yang membahas Tragedi
1965. Ketua Panitia Pengarah sekaligus Gubernur Lemhanas terpilih Agus Widjojo
mengatakan simposium diharapkan dapat menjadi awal bagi penyelesaian polemik
Tragedi 1965.
Simposium Tragedi 1965 merupakan
forum pertama yang disokong pemerintah, terutama Kemenkopolhukam, untuk
penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam forum ini, pemerintah akan
memfasilitasi diskusi antara korban, saksi dan pakar sejarah. Melalui forum
ini, pemerintah berharap dialog tersebut bisa melengkapi temuan-temuan yang
telah dipublikasikan Komnas HAM pada 2012 silam. (cnn/sur/meli)
Jokowi
Perintahkan Luhut Cari Kuburan Massal Korban
![]() |
Presiden Joko Widodo perintahkan cari dan bongkar kebenaran adanya kuburan massal tragedi 1965 |
Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum
dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban
peristiwa 1965.
Kuburan
massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait
isu pembantaian pengikut PKI pascatahun 1965 silam.
"Presiden
tadi memberitahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya," ujar
Luhut usai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4/2016).
"Sebab
selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu
orang yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan
massal," lanjut dia.
Luhut
juga meminta lembaga swadaya masyarakat yang terus mendesak pemerintah untuk
meminta maaf atas peristiwa 1965 untuk membuka data jika mengetahui ada kuburan
massal yang dimaksud.
"Silahkan
kapan dia mau tunjukkin. Sampaikan ini dari Menko Polhukam, kapan kami bisa
pergi dengan mereka," ujar Luhut.
Selama
ini, kata Luhut, banyak yang mengaku memiliki data kuburan massal korban,
tetapi tidak dapat membuktikannya.
Pernyataan
Luhut terkait keinginan menggali kuburan massal korban 1965 ini sempat
diungkapkan saat Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, beberapa waktu lalu.
"Saya
malah minta kalau ada alat buktinya, kita ingin minta gali kuburan
massalnya," kata Luhut ketika itu.
Luhut
mengamini bahwa ada konflik horizontal yang terjadi pada 1965. Besarnya konflik
tersebut hingga menewaskan sejumlah orang.
Namun,
ia menolak jumlah korban tewas disebut hingga ratusan ribu orang.
"Bahwa
ada yang meninggal di tahun 1965, yes, tetapi jumlahnya tidak seperti yang
disebut-sebutkan sampai 400.000 orang, apalagi jutaan orang," ucap Luhut. kmpas/alif/meli