![]() |
Jenderal Hoegeng Imam Santosa |
Jakarta, Metrolima.com - Bola panas isu pencatutan nama presiden
untuk memuluskan kontrak Freeport terus bergulir. Menteri ESDM Sudirman Said
jelas menyebut nama Setya Novanto sebagai politikus yang melakukan hal itu.
Sejumlah nama pejabat pun ikut terseret.
Jika benar terbukti,
tentu mengerikan bagaimana lobi-lobi yang dilakukan para pejabat demi
mendapatkan keuntungan sepihak.
Ada cerita menarik
tentang sosok polisi yang berani menggebrak pengusaha yang mencatut nama
presiden. Rupanya kasus catut nama presiden demi melancarkan bisnis sudah lama
terjadi.
Tahun 1960an,
Presiden Soekarno menunjuk Jenderal Hoegeng Imam Santosa sebagai Kepala Jawatan
Imigrasi. Dia diberi tugas untuk membongkar penyelundupan di sana.
Hoegeng segera
mengamati pos barunya. Dia sadar rupanya di Jawatan Imigrasi bukan orang
imigrasi yang berkuasa, melainkan Angkatan Darat, intel, polisi, dan orang
kejaksaan. Petugas Imigrasi hanya tukang cap belaka.
Hal itu dikisahkan
Hoegeng dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan Abrar Yusra terbitan Pustaka
Sinar Harapan tahun 1993.
Maka Hoegeng berusaha
mengubahnya sekuat tenaga. Jangan harap ada orang bisa main-main lewat
imigrasi. Pegawai yang menerima suap dari pengusaha langsung ditindak.
Suatu hari seorang
pengusaha kaya raya asal Aceh datang menemui Jenderal Hoegeng. Semua orang tahu
pengusaha itu anak emas Presiden Soekarno.
Saat Soekarno meminta pengusaha
menyumbang untuk kepentingan revolusi dan konfrontasi dengan Malaysia, si
pengusaha menyumbang Rp 50 juta. Jumlah terbanyak kala itu.
Tapi sumbangan itu
tidak cash. Untuk mencari dana sebesar Rp 50 juta, si pengusaha meminta izin
monopoli karet di Sumatera. Soekarno memberikannya.
Rupanya pengusaha itu
meminta paspor diplomatik yang punya kekebalan hukum internasional. Tentu saja
Hoegeng menolaknya. Masak pengusaha minta paspor diplomatik? Lagipula untuk
menerbitkan paspor diplomatik, imigrasi harus berkoordinasi dengan kementerian
luar negeri.
Hoegeng terus
menolak. Tapi si pengusaha dengan percaya diri terus mendesak Hoegeng.
"Begini saja
kita sebagai sesama manusia saling membantu saja. Tak ada sulitnya bagi saudara
memberi saya paspor diplomatik, artinya membantu saya bebas ke luar negeri. Apa
bantuan yang bisa saya berikan untuk saudara? Katakan saja kepada saya, berapa
biaya rumah dan keluarga yang saudara butuhkan setiap bulan? Berapa ratus-ratus
ribu rupiah per bulan?" kata Hoegeng menirukan tawaran pengusaha itu.
Hoegeng naik pitam.
Dia sangat tersinggung melihat polah pengusaha itu. Disangkanya dengan uang
semua bisa dibeli. Hoegeng marah benar. Dia berdiri dan berkata dengan nada
tinggi sambil menunjuk ke arah pintu.
"Saudara lihat
pintu itu? Jadi saudara tinggal pilih: Keluar baik-baik atau saya tendang ke
luar pintu itu! Persetan dengan uang kamu itu!" bentak Hoegeng
sekeras-kerasnya.
Pengusaha itu
gelagapan, tubuh Hoegeng lumayan tinggi untuk orang Indonesia. Takut juga si
pengusaha kalau benar-benar ditendang keluar. Dia segera pergi meninggalkan
Hoegeng.
Cerita ini masih
berlanjut. Saat Hoegeng menemui Presiden Soekarno ternyata secara kebetulan ada
si pengusaha di Istana. Hoegeng pun langsung menyindirnya.
"Nah ini
pengusaha anak emas bapak lho ya?" sindir Hoegeng.
Soekarno tertawa.
"Memang kenapa?"
"Untuk Bapak
ketahui, dia mencoba menyogok atau membeli saya agar dikasih paspor
diplomatik," beber Hoegeng.
Soekarno terdiam
beberapa detik. Dia lalu bertanya dengan tegas pada pengusaha itu. "Heh,
kamu! Apa iya?"
Namun si pengusaha
hanya duduk dan menunduk malu di kursinya. Tak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya yang semula gemar omong besar.
Kini semoga ada
polisi seperti Jenderal Hoegeng untuk membersihkan orang-orang yang menjual
kepentingan negara demi keuntungan pribadi. (mrdk/ian/jat)